Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pernahkah Anda tiba-tiba pada suatu hari terbersit pertanyaan,
“Apakah aku sudah berada di jalan yang diridai Allah?”
“Pilihan tatacara ibadahku dan keputusanku dalam memprioritaskan amal tertentu yang kugunakan untuk menghabiskan umurku, apakah sudah sesuai dengan kehendak Allah?”
“Apakah cara beragama yang saat ini aku jalani, benar-benar sesuai yang diinginkan Allah dan membuatNya rida ataukah itu hanya fantasiku, khayalanku dan ke-GE-ER-anku saja?”
“Bagaimana caraku memastikan bahwa aku benar-benar di jalan Allah dan menjamin keselamatanku di hari aku bertemu dengan-Nya?”
Jika Anda termasuk orang yang pernah terbersit pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, atau yang semakna dengannya, maka hal itu adalah wajar, dan mudah-mudahan menjadi tanda bahwa Allah sedang mengawasi dan hendak memberikan anugerah petunjukNya yang terbaik.
Dikatakan wajar karena pada hari ini kita hidup di tengah-tengah umat islam dengan berbagai macam ragam aliran, organisasi, afilisi, pemahaman, harokah, jama’ah, jam’iyyah, ideologi, partai, sekte, firqoh, dan mazhab . Semuanya mengklaim sebagai pemahaman yang paling benar. Semuanya mengaku sebagai ahlussunah wal jamaah. Semuanya mengaku sebagai pemahaman yang paling sesuai dengan petunjuk Nabi ﷺ . Semuanya mengaku sebagai jalan satu-satunya yang menjamin masuk surga. Semuanya mengaku sebagai firqoh najiyah (kelompok yang selamat). Jadi wajar, jika sempat bingung dan risau.
Lalu, apakah kebingungan, kerisauan dan semua pertanyaan yang sempat muncul itu mungkin diselesaikan secara rasional?
Secara rasional mungkin saja, sebab Al-Qur’an dan hadis hadir dalam bentuk yang bisa dijangkau oleh akal manusia dan semua orang memiliki potensi untuk mengukur kebenaran sebuah ajaran dengan dicocokkan terhadap Al-Qur’an, hadis, dan perilaku orang salih. Hanya saja, bagi awam-awam tertentu, pekerjaan ini tetap sulit dan tetap menyisakan ruang kegelisahaan dalam relung hatinya yang paling dalam. Pada level ini, saling klaim tetap akan menjadi gejala yang sering dan umum dilihat.
Kalau begitu adakah jalan lain yang bisa menjadi harapan?
Jika harapan yang bertumpu jalan rasional sudah dianggap tidak cukup, satu-satunya jalan memang langsung memohon kepada Allah untuk diberi petunjuk yang memastikan bahwa kita benar-benar berada di jalan yang diridaiNya.
Memang betul, setelah meminta tidak akan ada surat turun dari langit yang memberi stempel bahwa kita berada di jalan yang benar, tapi paling tidak dengan memasrahkan segala sesuatu kepada Allah, maka harapan untuk ditunjukkan dijalan yang benar lebih besar daripada yang mengandalkan kemampuan otaknya.
Namun, tindakan “lari” langsung kepada Allah ini hanya akan efektif jika kita bersikap pasrah dan penuh tawakal kepada Allah seraya siap untuk meninggalkan cara beragama kita yang sudah kita jalani saat ini (meskipun saat ini kita menduga kuat bahwa itulah yang paling benar), jika dirasakan Allah dengan caraNya yang ajaib menunjukkan dan menggiring ke arah cara beragama yang baru, yang mungkin bahkan bertentangan dengan apa yang sudah kita praktekkan selama bertahun-tahun. Jika tidak ada kesiapan itu, dan merasa yakin bahwa jalan yang ditempuh saat ini sudah dipastikan akan menjamin rida Allah, maka upaya meminta bantuan kepada Allah ini menjadi seperti tidak ada maknanya.
Orang yang menempuh cara meminta bantuan Allah itu, selama dia ikhlas, tulus, dan bersungguh-sungguh, maka ada jaminan sebagaimana dijelaskan dalam hadis, bahwa Allah pasti akan mengabulkan.
Hanya saja, memohon kepada Allah ini harus memakai “kalimat ajaib” agar potensi dikabulkan bersifat pasti atau minimal dugaan kuat. Jangan memakai kalimat yang kita karang sendiri, karena potensi dikabulkannya menjadi tidak jelas.
“Kalimat ajaib” itu adalah kalimat yang itu langsung diajarkan Allah, melewati malaikat Jibril, disampaikan kepada nabi Muhammad dan diajarkan kepada seluruh umat beliau.
Bagaimana kalimat ajaib itu?
Simak hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas ia berkata; Ketika malaikat Jibril sedang duduk di samping Nabi ﷺ tiba-tiba ia mendengar suara (keras) dari arah atas kepalanya. Lalu malaikat Jibril berkata: “Itu adalah suara salah satu pintu langit yang dibuka, sebelumnya ia belum pernah dibuka sama sekali kecuali pada hari ini.” Lalu keluarlah daripadanya malaikat. Jibril berkata: “Ini adalah malaikat yang hendak turun ke bumi, sebelumnya ia belum pernah turun ke bumi sama sekali kecuali pada hari ini saja.” Lalu ia memberi salam dan berkata: “Bergembiralah atas dua cahaya yang diberikan kepadamu dan belum pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelummu, yaitu surah Al Fatihah dan penutup surat Al Baqarah. Tidaklah kamu berdoa dengan satu huruf dari kedua surat itu kecuali pasti akan diberikan kepadamu.” (H.R.Muslim)
Yah,
Ternyata kalimat ajaib itu ada di Surah Al-Fatihah yang kita baca setiap hari.
Oleh karena itu, setiap kali kita memohon sungguh-sungguh dengan menghiba-hiba kalimat berikut ini,
Artinya,
“berilah kami petunjuk jalan yang lurus”
Maka sebenarnya ada jaminan dari Allah, asalkan kita yakin, bahwa Allah akan memberi petunjuk supaya jalan hidup kita benar disisi-Nya.
Ciri jalan hidup yang benar sebenarnya sudah dijelaskan dalam lanjutan ayat, yakni jalan itu haruslah seperti jalan hidup orang-orang yang diberi nikmat. Orang-orang yang diberi nikmat adalah para nabi, para rasul, orang-orang saleh, para wali, para syuhada’, dan para shiddiqin.
Jadi, semakin mirip cara hidup kita dengan cara hidup mereka, maka semakin besar harapan kita bahwa kita sudah berada di jalan yang benar.
Sebaliknya, jalan yang keliru adalah jalan orang-orang yang dimurkai Allah seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang yang tersesat seperti orang-orang Nasrani. Jadi, siapapun yang punya watak, cara pikir, cara hidup, cara menafsirkan makna hidup manusia dan cara memutuskan sesuatu seperti Yahudi dan Nasrani, maka jelas dia telah jauh dari jalan yang lurus.
Jadi, setelah bersungguh-sungguh berdoa minta petunjuk kepada Allah saat membaca Al-Fatihah seraya meyakini bahwa Allah akan memberi petunjuk, maka seharusnya seorang hamba yang sungguh-sungguh ingin menempuh jalan menuju Rabbnya benar-benar serius mengikuti semua peluang ilmu dan amal yang dibukakan Allah untuknya. Serius mengikuti seraya siap menginggalkan apapun yang bersifat duniawi yang menghalangi jalan menuju Allah.
Seperti yang dilakukan Salman Al-Farisi!