Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jawaban utama mengapa hak talak ada di tangan suami adalah karena Allah yang menetapkan demikian. Allah yang membuat hukum begitu dan Dia bebas berbuat apapun yang dikehendaki-Nya. Ini adalah jawaban utama dan terpenting. Jawaban yang didasarkan pada iman, tanpa perlu menggugat alasan rasional dibalik sebuah hukum Allah. Kewajiban mukmin hanyalah taat, persis seperti taatnya para malaikat saat diperintah sujud kepada Adam, tanpa bertanya rasionalisasinya. Juga seperti taatnya Nabi Ibrāhīm saat diperintah menyembelih putranya tanpa bertanya rasionalisasinya. Selama sebuah ketentuan sudah bisa dibuktikan itu kehendak Allah, maka kewajiban muslim adalah menerima dan taat meskipun belum tahu dasar rasionalnya dan belum tahu apa hikmahnya.
Allah yang menciptakan manusia, menciptakan laki-laki dan menciptakan perempuan. Allah pulalah yang paling tahu sifat dasar laki-laki dan wanita. Jika Allah memberikan hak talak kepada lelaki, maka itu pasti karena Allah yang Maha Tahu telah mengetahui bahwa ketentuan itu yang terbaik untuk rumah tangga, yang paling bijaksana dan paling sesuai dengan karakteristik dasar laki-laki dan wanita.
Untuk mengetahui dalil detail yang menunjukkan bahwa Allah memberikan hak talak kepada suami, silakan dibaca catatan saya sebelumnya yang berjudul “APAKAH TALAK HARUS DI HADAPAN HAKIM AGAR DINILAI SAH?”
Seharusnya jawaban atas dasar iman ini sudah cukup menjadi penjelasan bagi mereka yang telah beriman.
Hanya saja, saat ini kaum muslimin hidup di zaman di mana pengaruh rasionalisme Barat demikian dominan. Oleh karena itu, banyak hukum-hukum Islam digugat dan dipertanyakan atas dasar rasionalisme itu. Beberapa orang mualaf yang baru masuk Islam kadang juga terpengaruh dan ingin mengetahui jawaban rasional dari sejumlah hukum yang dipermasalahkan tersebut. Terhadap kelompok ini, pertama-tama harus dijelaskan sebagai berikut.
Tidak semua ajaran syariat itu bisa dirasionalisasi, dicari alasan atau dipahami hikmahnya. Ada yang bisa dijelaskan sebab dari hukum tertentu atau hikmahnya, tetapi ada pula yang tidak bisa dijelaskan sebab dari sebuah perintah tertentu atau hikmahnya.
Hukum yang bisa dijelaskan alasannya berarti hukum tersebut punya ‘illat (العلة) alias SEBAB HUKUM. Hukum apapun jika diketahui ‘illat-nya berdasarkan dalil, maka berlaku kaidah “al-ḥukmu yadūru ma’a al-‘illah wujūdan wa ‘adaman” (hukum itu berputar bersama ‘illat dari aspek ada maupun tiadanya).
Contoh hukum yang memiliki ‘illat adalah hukum meminta izin saat masuk rumah. Dalam hadis ditegaskan bahwa hukum meminta izin saat masuk rumah itu adalah dalam rangka menjaga pandangan (li ajlil baṣar). Berarti ‘illat meminta izin adalah untuk menjaga pandangan. Hukum yang seperti ini berarti berlaku kaidah “al-ḥukmu yadūru ma’a al-‘illah wujūdan wa ‘adaman”. Maknanya, jika ada ‘illat maka hukum berlaku, tetapi jika tidak ada ‘illat maka hukum tidak berlaku. Prakteknya, jika kita bertamu ke rumah orang lain maka kita wajib meminta izin masuk, karena ‘illat-nya terwujud yakni menjaga pandangan. Tapi pada kasus rumah yang tidak ditempati, atau gudang, atau tempat-tempat lain yang tidak perlu ada kepentingan menjaga pandangan berarti meminta izin tidak disyariatkan.
Ada juga jenis hukum yang tidak dijelaskan ‘illat-nya tapi bisa diraba hikmahnya. Misalnya perintah berbakti kepada orang tua. Perintah ini tidak dijelaskan mengapa wajib berbakti, tetapi bisa diraba hikmahnya. Sudah selayaknya orang yang sangat baik kepada kita, yang melalui perantaraan mereka kita lahir, yang mengasuh kita sejak kecil, yang merawat kita saat sakit, yang memberi pendidikan terbaik untuk kita dan selalu mendoakan kita, beliau mendapatkan bakti kita. Paling tidak itu adalah balas jasa dari semua kebaikan mereka, meskipun sebaik apapun kita tidak akan pernah bisa membalas jasa besar orang tua. Tetapi hikmah seperti ini bukan ‘illat.
Artinya, jika orang tua kebetulan jahat, tidak bertanggungjawab, menelantarkan anak, bahkan kejam ke anak, maka kita tetap wajib berbakti kepada mereka karena Allah memerintahkan birrul walidain tanpa penjelasan ‘illat hukum.
Termasuk juga hukum-hukum ibadah. Mengapa salat 5 waktu, mengapa salat subuh hanya 2 rakaat sementara zuhur, asar, dan isya yang umumnya orang capek malah 4 rakaat, mengapa bersuci bisa memakai tanah, mengapa disunahkan mencium hajar aswad, mengapa jumlah putaran tawaf sebanyak tujuh kali dan lain-lain, ini semua adalah aturan yang tidak disertai penjelasan ‘illat hukum. Bisa saja kita menemukan hikmah salat misalnya salat itu melancarkan peredaran darah. Tapi lancarnya peredaran darah bulan ‘illat salat. Jadi, seandainya kita menemukan olahraga khusus yang bisa melancarkan peredaran darah, maka kita tidak boleh meninggalkan salat dengan alasan tujuan salat telah tercapai. Salat adalah perintah Allah, melaksanakannya adalah ibadah. Entah hikmah terwujud atau tidak poin penting dari salat adalah ketaatan kepada Allah
Poin utama uraian panjang lebar ini adalah, pembahasan rasionalisasi dan pencarian hikmah syariat tidak boleh dijadikan ‘illat hukum. Orang mungkin mencari hikmah sebuah syariat, tapi tidak boleh karena dugaan hikmah itu lalu hukum diubah-ubah berdasarkan penemuan akal manusia terhadap dugaan hikmah itu.
Demikian pula dalam hal talak. Itu hak yang diberikan Allah dan hak ini tidak ber-’illat sehingga tidak bisa diterapkan kaidah “al-ḥukmu yadūru ma‘al ‘illah wujūdan wa ‘adaman”. Jika kita bisa menemukan hikmah talak di tangan lelaki, maka tidak boleh dugaan hikmah itu dipakai alasan untuk memindah hak talak ke istri atau dibuat milik bersama pasangan suami-istri atau dipindah ke hakim atau ke siapapun yang tidak diberi hak oleh Allah.
HIKMAH TALAK DI TANGAN SUAMI
Barangkali ada banyak hikmah mengapa Allah memberikan hak talak itu kepada suami. Berikut ini beberapa hikmah yang mungkin kita duga,
PERTAMA,
Umumnya lelaki itu dominan akalnya sehingga jika memutuskan talak, pandangannya jauh ke depan dan pertimbangan masak. Tentu saja akan ada beberapa oknum lelaki yang serampangan dan ceroboh dalam menjatuhkan talak. Akan tetapi, yang dibicarakan disini adalah fitrah dasar umumnya lelaki. Bukan kasus-kasus menyimpang yang tidak bisa dijadikan dasar menarik kesimpulan umum dan generalisasi.
Berbeda dengan wanita yang sering dominan perasaannya. Karena emosi sesaat, sejumlah wanita bisa jadi sudah memutuskan talak hanya karena masalah kecil yang dibesar-besarkan. Anda mungkin bisa menemukan di sekitar Anda, wanita yang karena peristiwa tertentu sangat marah kepada suami lalu langsung minta talak tiga. Karena suami didesak terus menerus akhirnya dikabulkanlah permintaan itu. Selang beberapa tahun kemudian, tahulah si wanita tersebut bahwa dirinya ternyata masih sangat mencintai mantan suaminya. Akhirnya dia sangat menyesal karena telanjur minta talak tiga. Dia mengemis-ngemis dan menghiba-hiba supaya dinikahi kembali. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Istri yang sudah ditalak 3, maka tidak bisa lagi rujuk dengan suaminya, bahkan dengan akad nikah baru sekalipun.
KEDUA,
Lelaki itu punya kewajiban menafkahi, membimbing dan mengurus rumah tangga. Beda dengan istri yang sifatnya dinafkahi, dibimbing dan membantu suami. Seandainya benar suami mentalak sekalipun, dia masih wajib memberi nafkah istrinya selama masa idah. Jadi, dia yang kena beban materi dan psikis. Oleh karena itu, layak jika urusan talak dipercayakan kepada dia, sebab tanggungjawabnya memang besar. Seorang lelaki ketika mau mengorbankan harta, tenaga, pikiran dan hatinya untuk istri dan anak, maka itu tentu sudah atas dasar pertimbangan bahwa berumah tangga lebih baik daripada tidak berumah tangga. Jadi, kalau dia sampai membubarkannya, maka dia memandang pembubaran lebih baik sebab mempertahankan akan membuat dia berkorban banyak hal. Dengan tanggung jawab yang besar ini, dia yang paling tahu apakah kapal besarnya layak dibubarkan atau masih bisa diperbaiki.
KETIGA,
Lelaki wajib membayar mahar, jadi sangat layak jika hak talak diberikan kepadanya. Mahar adalah tanda keseriusan seorang lelaki saat hendak mengajak wanita menjadi istrinya, tinggal bersamanya dan melayaninya. Jika hak talak diberikan kepada wanita, maka itu akan merugikan lelaki. Apalagi jika nafkah bulanan yang diberikan suami nilainya besar. Bayangkan seorang wanita dinikahi lelaki dengan mahar sebuah villa dan nafkah bulanan sebesar 100 juta. Karena si wanita ini jahat dan licik, begitu sah, lalu sudah cukup tabungan besar, istri langsung mentalak. Betapa ruginya suami jika kondisinya seperti itu. Bisa-bisa, menyerahkan hak talak kepada istri malah dimanfaatkan dan dijadikan ladang bisnis wanita-wanita berwatak jahat.
KEEMPAT,
Suami adalah pihak yang membuat ikatan nikah saat mengucapkan kata kabul dalam akad nikah. Bukan wanita. Malahan, wanita tidak diperlukan kehadirannya dalam akad ijab-kabul. Seandainya saat akad nikah wanita diam menunggu di kamar, maka pernikahan tetap sah. Seandainya saat wali mengucapkan ijab lalu lelaki diam, maka tidak akan terwujud ikaftan pernikahan. Karena lelaki yang menjawab akad nikah, berarti dialah yang membuat komitmen alias membuat ikatan. Dari sini, menjadi logis jika pula yang berhak membubarkan ikatan tersebut. Oleh karena itu, wajar jika hak talak diberikan kepada suami.
KELIMA,
Mustahil hak talak diberikan kepada suami dan istri sekaligus, dalam arti talak hanya sah jika keduanya menyepakatinya. Justru rumah tangga yang berselisih itu pada umumnya pasangan suami istri sangat sulit mencapai kata sepakat. Gagasan ini malah akan membuat salah satu pasangan menderita berlama-lama jika mekanisme talak dibuat sesulit itu.
KEENAM,
Jika memindah wewenang talak kepada istri tidak bijaksana, maka memindah wewenang itu ke hakim juga tidak tepat. Hakim itu tidak berhak memutuskan pembubaran rumah tangga dalam kasus normal karena yang bertanggung jawab menafkahi bukan hakim tapi suami. Yang wajib mendidik juga suami bukan hakim. Yang ditanya Allah di akhirat bagaimana mengurus keluarga juga suami, bukan hakim.
Hakim hanya punya kuasa memisah paksa pasangan suami istri jika ada aduan dari istri karena sebab-sebab syar’i yang merugikan istri, misalnya suami tidak menafkahi padahal mampu, suami impoten, suami menghilang, suami terkena penyakit berbahaya semisal AIDS, suami kepergok istri sedang berzina, suami menghilang, suami dipenjara seumur hidup dan semisalnya.
Oleh karena itu, syariat Islam sangat bijaksana. Hak talak diberikan kepada suami, bukan kepada istri juga bukan kepada hakim, tapi istri diberi berbagai kesempatan untuk melepaskan diri dari suami jika suami menyalahgunakan wewenangnya seperti mekanisme khulu‘, fasakh, tafrīq, dan tafwīḍ al-ṭalāq. Hak talak diberikan kepada suami itu justru untuk melindungi keluarga dan mencegah kekacauan.
***
12 Żulqa‘dah 1442 H