Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Umru’ul Qais (امرؤ القيس) berkata dalam salah satu syairnya,
قِفَا نَبْكِ مِنْ ذِكْرَى حَبِيْبٍ وَمَنْزِلِ بِسِقْطِ اللِّوَى بَيْنَ الدَّخُولِ فَحَوْمَلِ
Umru’ul Qais adalah penyair cinta di masa jahiliah. Caranya mengungkapkan romantisme, kenangan, kerinduan, kepiluan, dan luka karena cinta sungguh luar biasa. Benar-benar menghanyutkan. Tentu hanya bisa dirasakan yang mendalami bahasa Arab. Jadi jika ingin menghayati bagaimana suasana cinta didramatisasi di masa jahiliah, mengkaji karya-karya Umru’ul Qais adalah hal penting.
Kita akan mencoba menganalisis satu bait saja dari syair cinta Umru’ul Qais di atas.
Kata qifā (قِفَا) dalam bait di atas berasal dari kata waqafa (وقف) yang bermakna “berhenti”. Kata qifā adalah fi‘il amr. Aslinya qif (قف). Berarti qif bermakna “berhentilah”.
Huruf alif pada kata qifā mungkin ditafsirkan bahwa mukhāṭab (lawan bicara) berjumlah dua. Makna asalnya memang seperti ini. Jika huruf alif di sana ditasfirkan mukhāṭab berjumlah dua orang, berarti penyair membayangkan saat dia mengucapkan kalimat ini, dirinya ditemani dua orang kawannya. Seakan-akan dia berkata, “Wahai dua kawanku, berhentilah (sejenak). Mari turun dari kendaraan lalu berhenti di tempat ini”
Seakan-akan dia mau bilang bahwa kesedihan karena mengenang kekasih yang sangat dicintainya itu bukan perkara pribadi saja. Tetapi ia adalah perkara yang layak untuk diketahui dan dirasakan orang lain juga. Karena itu dia mengajak kawannya sejenak berhenti untuk merasakan perihnya rindu dalam hatinya.
Mungkin juga huruf alif di sana difahami sebagai simbol pengulangan. Jadi kata qifā perkiraannya adalah qif! qif! قف قف). Jika makna ini yang diambil berarti penyair membayangkan ditemani satu orang kawan saja. Tapi dia mengulang permintaan supaya berhenti sebanyak dua kali. Seakan-akan penyair berkata, “Berhentilah, berhentilah sejenak wahai kawan. Mari turun dari kendaraan lalu berhenti di tempat ini” .
Memahami simbol jumlah ḍamir sebagai pengulangan seperti ini bisa diterima juga secara bahasa sebagaimana dipakai dalam ayat Al-Qur’an,
﴿قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ﴾ [المؤمنون: 99]
Artinya,
“Dia (penghuni neraka itu) berkata, “Wahai Tuhanku, kembalikan aku-kembalikan aku (ke dunia)”
Tidak mungkin huruf wawu pada kata irji’uni di atas dipahami bahwa mukhāṭabnya jamak, sebab konteks ayat sudah jelas bahwa yang diajak bicara adalah Allah sementara Allah itu esa, bukan jamak. Berarti ayat di atas perkiraan maknanya adalah irji‘ni, irji‘ni, irji‘ni..yakni permohonan dengan pengulangan.
Mungkin juga huruf alif di atas difahami sebagai huruf metamorfosa dari nun taukid. Jadi aslinya adalah qifan (قفن) lalu diubah menjadi qifā. Jika makna ini yang diambil berarti sama dengan sebelumnya, penyair membayangkan ditemani satu orang kawan saja. Tapi dia menekankan permintaan supaya berhenti memakai harf ta’kid . Seakan-akan penyair berkata, “Sungguh kuminta berhentilah sejenak wahai kawan. Mari turun dari kendaraan lalu berhenti di tempat ini”.
Mungkin juga huruf alif disana dimaknai jamak, karena dalam bahasa Arab alif bisa juga bermakna jamak secara hakiki sebagaimana dalam Al-Qur’an dua perempuan dianggap jamak untuk memperoleh bagian warisan berjumlah 2/3. Jika makna jamak yang dipakai, berarti kawan yang diajak ikut bersedih oleh penyair itu jumlahnya 3 atau lebih.
Dengan demikan kata qifā dari sisi mukhāṭab yang diajak bicara ada 3 kemungkinan,
- Mufrad, berarti penyair membayangkan ditemani 1 kawan
- Muṡannā berarti penyair membayangkan ditemani 2 kawan
- Jamak , berarti penyair membayangkan ditemani 3/lebih kawan
Gaya semacam ini, yakni penyair membayangkan ditemani dua kawan di alam khayalnya saat memulai syairnya adalah gaya yang sudah umum dipakai para penyair zaman itu.
Kata nabki (نبك) berasal dari kata bakā yang bermakna menangis. Posisi sintaksisnya di situ sebagai jawab syarat sehingga harus majzūm. Huruf nunnya boleh diterjemahkan “kita”. Dengan demikian terjemahan harfiah qifā nabki adalah “berhentilah, mari kita menangis.”
Dari sini sudah bisa terbayang seberat apa perihnya hati karena rindu yang dirasakan penyair. Ingat, penyair adalah seorang lelaki. Fitrahnya lelaki itu susah menangis. Jika sampai dia memangis dan mengajak orang lain menangis, berarti kesedihan yang ia rasakan memang sangat mendalam.
Kata min (من) dalam bait di atas bermakna li ajli, jadi lebih enak diterjemahkan karena/untuk.
Kata żikrā (ذكرى) bermakna mengenang. Ia adalah jenis maṣdar dari kata tażakkara (mengingat/mengenang) yang masih punya fungsi ‘āmil sehingga bisa memberikan efek pada maf‘ūl bih.
Kata ḥabib (حبيب) bermakna kekasih. Secara lafal I’rabnya majrur tetapi secara maḥall ia adalah maf’ul bih dari kata zikra sebelumnya. Dalam konteks ini kekasih yang dimaksud tentu saja berjenis kelamin wanita, karena sang penyair yakni Umru’ul Qais adalah seorang lelaki.
Kata manzil (منزل) bermakna rumah.
Sampai disini Umruul Qais berarti mengajak kawan imajinernya untuk berhenti sejenak, semacam mengheningkan cipta mungkin, sambil menangisi dan meratapi, untuk mengenang kekasihnya beserta rumah kediamannya yang berada di lokasi tempat mereka berhenti sejenak tadi.
Setelah itu penyair menerangkan lokasi rumah kekasih yang dikenangnya itu.
Huruf bā’ pada kata bisiqṭil liwā adalah bā’ zarfiyyah yang bermakna di, yakni menunjukkan lokasi. Kata Siqṭul Liwā, Dakhūl dan Ḥaumal semuanya adalah nama tempat. Intinya penyair ingin menggambarkan di mana lokasi rumah kediaman kekasih yang dikenang dan diratapinya.
Dengan demikian terjemahan lengkap dari bait di atas kira-kira begini,
“Berhenti sejenak teman-teman,
“Kita tangisi kekasih pujaan dan tenda kenangan
“Di antara Dakhūl dan Ḥaumal dalam angan-angan
Puisi ini termasuk bahr ṭawil (بحر الطويل) dalam kajian ilmu ‘Arūḍ.
###
Di masa kuliah S1, setelah membaca sebagian kitab tafsir saya sangat berminat mengkaji sastra jahiliah. Saya melihat para ulama tafsir itu setiap kali menerangkan makna lafal Al-Qur’an lalu menjelaskan definisinya seringkali beliau mengutip syair-syair fasih di zaman jahiliah. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin saya akan bisa merasakan betul “feel” makna Al-Qur’an jika tidak mendalami sastra Arab jahiliah.
Akhirnya ketemulah syair-syair yang diistilahkan dengan nama mu’allaqāt (المعلقات).
Saya pelajari syair-syair Umru’ul Qais, Ṭarafah bin al-‘Abd, Zuhair bin Abi Sulmā, Labid dan lain-lain.
Karena kegemaran mengkaji sastra jahiliah itupula saat menggarap skripsi saya memutuskan mengkaji Mu‘allaqah Zuhair bin Abi Sulmā untuk digali nilai-nilai budaya Arab jahiliah kemudian di sikapi dengan Islam. Saya dibimbing dua guru yang saya muliakan yakni al-Ustaz al-Hafiż Nurul Murtadlo dan al-ustazah Hanik Mahliatussikah rahimahumāllāh.
###
Belajar sastra jahiliah itu gambaran kedalamannya seperti analisis di awal tulisan ini. Itupun baru sebagian sangat kecil, karena hanya menganalisis aspek nahu-sarafnya. Belum membahas aspek balagah, aspek ‘arūḍ, aspek qāfiyah, aspek latar belakang puisi dan tafsirnya.
Mungkin karena kegemaran mengupas kata dan makna sedetail-detailnya, hal itu terbawa saat mengkaji kitab apapun. Ini pula yang membuat saya senang dan takjub dengan kitab-kitab yang senafas dengan ini semisal al-Taḥrir wa al-Tanwir-nya Ibnu ‘Āsyūr.
Ternyata, kebiasaan seperti ini sangat bermanfaat untuk memahami kitab-kitab fikih juga. Beberapa ungkapan fikih yang terlihat sulit sebagian besar jadi cepat terpecahkan. Bahkan, saya belajar ilmu faraid itu dulu juga tidak melalui tangga-tangga seperti dari mukhtasar dulu, baru syarahnya, lalu naik ke kitab yang pakai istidlāl dan dalil dst. Saat itu saya langsung mencoba kitab “babon” yang penuh istidlal dan dalil, bahkan bantahan pendapat berbeda, dan dengan izin Allah diberi kefahaman. Saya merasakan kegemaran pada sastra jahiliah di masa muda itu memberi dampak yang tidak bisa diremehkan dan menjadi wasilah yang cukup efektif membantu memahami teks Arab yang kompleks.
Jadi teringat semua guru-guru saya di S1 pendikan bahasa Arab UM sejak tahun 2001-2007.
- Almarhum al-ustaz Imam Hasan (dari beliau saya mengenal istilah morfem dalam ilmu sharaf)
- Almarhumah al-Ustazah Maslihah (beliau yang mengenalkan ilmu balaghah. Seakan-akan masih terbayang bagaimana beliau menerangkan konsep isti‘ārah kepada mahasiswa)
- Almarhum Al-ustaz Dr. Syatibi (Saya teringat kebaikan beliau yang mengizinkan saya tidak ikut kuliah balaghah dan cukup ikut ujian akhir saja)
- Al-ustaz Prof. Muhaiban (dari beliau saya banyak belajar ilmu tentang micro teaching)
- Al-ustaz Prof. Imam Asrori (dari beliau saya banyak mendapat ilmu media belajar)
- Al-ustaz Prof Moh Ainin (dari beliau saya banyak dapat ilmu metode penelitian bahasa Arab. Bahkan sampai S2)
- Al-ustaz Dr.Irhamni (saya teringat sekali jasa beliau dipinjami kitab Nahjul Balaghah untuk saya kaji aspek sastranya. Ini momen-momen saya lagi menggandrungi sastra memang)
- Al-ustaz Dr. Kholisin (dari beliau saya merasa asyik belajar ‘Arabiyyah Linnasyi’in. Belajar serasa having fun)
- Al-ustaz Dr. Moh. Khasairi (beliau pakar nahwu. Saya mendapat banyak ilmu nahwu dari beliau)
- Al-ustaz Ahmad Tohe (beliau yang berjasa membuat saya percaya diri bicara bahasa Arab, karena awal semester pertama langsung diajar beliau.)
- Al-ustazah Nur Anisah Ridwan, M.Pd (ustazah paling ceria dan bahagia saat mengajar. Saya jadi ikut semangat jika diajar beliau. Saya juga terkesan kesabaran beliau yang lekas memaafkan jika mahasiswanya berbuat salah)
- Al-ustazah Nurhidayati (beliau mengajari kami istima’. Teringat momen di lab bahasa bersama beliau)
Oh ya, terjemahan puisi Umru’ul Qais di atas saya ambilkan dari terjemahan terindah yang pernah saya baca yang dibuat oleh al-ustaz profesor Ahmad Fuad Effendy, pakar sastra dan bahasa Arab yang pernah saya kenal di UM. Saya juga pernah mendengar sendiri pernyataan adik beliau yakni Emha Ainun Najib yang selalu merujuk kepada beliau jika ada yang perlu ditanyakan terkait bahasa Arab. Beliau memang marja’-nya komunitas Ma’iyyah. Kepakaran dan jasa-jasa beliau dalam menyebarkan bahasa Arab di Indonesia juga membuat beliau dipercaya oleh Kerajaan Arab Saudi sebagai salah satu anggota di majelis Umanā’ (Member of Trustees) di King Abdul Aziz Internasional Center of Arabic Language. Masuk di lembaga tersebut tentu saja bukan orang sembarangan sebab ia adalah lembaga resmi tertinggi dalam menjaga Bahasa Arab di dunia, yang berpusat di Riyad, Arab Saudi.
6 Sya’ban 1443 H/ 9 Maret 2022 jam 13.19
Foto dalam catatan ini adalah jepretan bait-bait awal syair Umru’ul Qais yang sudah saya coret-coret dan saya beri catatan kaki. Kira-kira semester 5 mungkin saya mengkajinya. Analisis dalam tulisan ini hanya analisis satu bait dari 81 bait puisi tersebut.
Saya terinspirasi membuat tulisan ini setelah bongkar-bongkar dan nemu catatan tersebut.
Saya posting jejak belajar ini, siapa tahu bermanfaat bagi yang masih muda-muda atau yang sedang semangat belajar bahasa Arab.