Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Salah satu dampak yang sangat buruk dari tasawuf al-Ḥallāj (atau minimal klaim tasawuf al-Ḥallāj) adalah dijadikannya tasawuf tersebut sebagai kedok orang yang malas beribadah atau malas bekerja. Aslinya malas beribadah atau malas bekerja atau dua-duanya, tapi agar tampak “relijius” dipakailah topeng tasawuf untuk membenarkannya.
Ciri orang-orang seperti ini pahamnya kira-kira bisa diuraikan seperti ini:
Mereka mengklaim sudah mabuk rindu dan cinta kepada Allah, lalu mengklaim sudah wuṣūl (sampai) kepada Allah, bahkan mengklaim sudah tersingkap hijab antara Allah dengan dirinya, sudah bisa melihat langsung Allah, sudah bisa bercakap-cakap dengan Allah, dan bahkan merasa telah bersatu dengan Allah! Mereka merasa sudah fanā’ (الفناء) yakni merasa lebur ke”aku”annya dalam diri Allah sehingga sudah susah membedakan antara tuhan dengan hamba, mana makhluk mana pencipta. Lalu karena saking mabuknya secara tidak sadar mengatakan “Ana al-ḥaqq”, “Aku adalah Allah”, “Maha Suci Aku” dan semisalnya.
Dengan begitu mereka merasa sudah tidak penting lagi terikat dengan syariat. Malah mereka menganggap syariat adalah hijab tebal yang menghalangi hamba dengan Allah! Biar sempurna ketulian telinga penganut tasawuf varian ini, pemimpin sekte mereka juga mengajarkan bahwa ilmu ahli fikih/ulama/fukaha itu juga hijab! Kitab-kitab ulama itu bulukan dan juga hijab! Berdebat juga hijab! Jadi, bila tidak ingin terhijab, tinggalkan syariat, tinggalkan ilmu ulama, tinggalkan kitab-kitab dan tinggalkan debat!
Mereka merasa sudah tidak perlu lagi salat, tidak perlu lagi puasa Ramadan, tidak perlu lagi haji ke Mekah dan semua ibadah lain yang berat dilakukan oleh hawa nafsu mereka yang memang cenderung senang berleha-leha. Salatnya cukup “eling” (ingat) saja kata mereka. Yang penting ingat Allah, yang penting selalu zikir, maka itu sudah mewakili salat. Mereka merasa sama dengan apa yang sirasakan al-Ḥallāj dan merasa tidak semua orang akan memahami “ketinggian level makrifat” yang sudah mereka capai.
Mereka yang malas bekerja juga menjadikan tasawuf jenis ini sebagai kedok kemalasan tersebut. Aslinya memang malas bekerja. Maunya makan minum dilayani orang lain. Cuma, biar tidak terlihat hina, maka mereka beralasan tasawuf. Kata mereka, “Tujuan hidup itu wuṣul (sampai) pada Allah. Jika sudah wuṣul, buat apa menyibukkan diri dengan amal-amal lahir yang malah hanya akan menjadi hijab antara hamba dengan tuhannya?”
Tentu saja meninggalkan syariat adalah kesesatan. Tidak mau salat juga kesesatan, bahkan kemurtadan jika memang meyakini salat tidak wajib. Orang yang tidak mau salat dengan alasan wuṣul itu pada hakikatnya masih terpenjara oleh hawa nafsunya. Sebab, hamba yang tulus menyembah Allah itu seharusnya menyembahNya dengan jasad dan hatinya. Bukan hanya hatinya. Jika hanya mampu dengan hati tapi malas dengan jasad, tandanya masih dikuasai hawa nafsu. Buktinya tidak bisa menundukkan jasadnya untuk merendah di hadapan Allah.
Meninggalkan bekerja dengan alasan wuṣul juga kebatilan. Karena bekerja adalah bagian dari pengabdian kepada Allah. Menggunakan mata, telinga, tangan dan kaki adalah amanah dari Allah dan bekerja adalah salah satu penggunaan terbaiknya. Allah membuat kita lapar dan agar bisa makan maka Allah memerintahkan bekerja. Jadi, bekerja itu justru menggunakan amanah tubuh untuk dipakai sesuai yang dikehendaki Allah. Semua nabi bekerja. Nabi Dawud membuat baju besi. Nabi Zakariyya menjadi tukang kayu. Nabi Muhammad ﷺ menggembala dan berdagang. Dengan demikian, orang yang tidak bekerja dengan alasan tasawuf itu hakikatnya malas saja, lalu menjadi benalu, beban dan merepotkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Sudah sejak lama al-Gazzālī mengingatkan dampak bahaya pemikiran jenis ini dalam kitab beliau; Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn. Beliau menjelaskan dampak bahaya tersebut terhadap orang awam yang gemar mengidentikkan diri dengan al-Ḥallāj untuk meninggalkan syariat dan meninggalkan kerja. Saat menerangkan salah satu makna syāṭaḥāt yang diciptakan para sufi, beliau berkata,
«الدعاوي الطويلة العريضة في العشق مع الله تعالى والوصال المغني عن الأعمال الظاهرة حتى ينتهي قوم إلى دعوى الاتحاد وارتفاع الحجاب والمشاهدة بالرؤية والمشافهة بالخطاب فيقولون قيل لنا كذا وقلنا كذا ويتشبهون فيه بالحسين بن منصور الحلاج الذي صلب لأجل إطلاقه كلمات من هذا الجنس ويستشهدون بقوله أنا الحق وبما حكي عن أبي يزيد البسطامي أنه قال سبحاني سبحاني وهذا فن من الكلام عظيم ضرره في العوام حتى ترك جماعة من أهل الفلاحة فلاحتهم». [«إحياء علوم الدين» (1/ 36)]
Artinya,
“(salah satu makna syaṭaḥāt adalah) klaim panjang lebar terkait kerinduan kepada Allah dan wuṣūl (sampai)/terus berhubungan dengan Allah yang membuat orang tidak perlu lagi amal lahir. Sekelompok orang sampai mengklaim ittiḥād (persatuan dengan Allah), tersingkapnya hijab, menyaksikan Allah dengan melihat langsung dan bercakap-cakap denganNya. Sampai mereka mengatakan, ‘Kami dibincangi (Allah) begini dan kami menjawab begini’. Mereka mengidentikkan diri dengan al-Ḥusain bin Manṣur al-Ḥallāj yang disalib karena mengucapkan kalimat-kalimat sejenis itu. Mereka berdalil dari ucapan al-Ḥallāj “Aku adalah tuhan”, termasuk riwayat dari Abū Yazīd al-Bisṭāmī yang mengatakan “Maha Suci Aku”. Ini adalah jenis ucapan yang sangat berbahaya bagi orang awam, sampai-sampai sekelompok orang petani meninggalkan profesi pertaniannya” (Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, juz 1 hlm 36)
Demikian berbahayanya pemikiran seperti itu, maka beliau menegaskan hukuman bunuh pada pengemban pemikiran demikian lebih baik daripada menghidupi sepuluh nyawa. Al-Gazzālī berkata,
«فهذا ومثله مما قد استطار في البلاد شرره وعظم في العوام ضرره حتى من نطق بشيء منه فقتله أفضل في دين الله من إحياء عشرة». [«إحياء علوم الدين» (1/ 36)]
Artinya,
“Yang seperti ini dan semisalnya termasuk perkara yang bunga apinya telah menyebar di berbagai negeri dan dampak buruknya telah membesar di kalangan para awam. Orang yang mengucapkan kalimat seperti itu, membunuhnya lebih afdal untuk menjaga dinullah daripada menghidupi 10 nyawa”
Jika seburuk ini dampak tasawuf al-Ḥallāj, apakah masih ragu untuk mengharamkan penyebaran pemikiran al-Ḥallāj termasuk yang semisal dengannya seperti Ibnu ‘Arabī yang mengagung-agungkan al-Ḥallāj?
Berikut SS persaksian pak kepala sekolah: Ainul Mutamakin
Matur nuwun testimoninya telah menginspirasi lahirnya tulisan ini.
9 Ramadan 1443 H/11 April pukul 10.29