Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ada pelajaran menarik saat Allah menceritakan awal mula kisah pernikahan Nabi Musa.
Yang diceritakan Allah ternyata bukan proses “ta‘aruf”nya, detik-detik “nazhor”nya, bagaimana munculnya “cinta pertama”, kerinduan terhadap calon, keinginan untuk selalu bersama, momen akad nikah, kisah bulan madu, persitiwa bergandeng tangan dan segala macam romantisme atau kisah cinta yang lain. Yakni perkara-perkara yang dibesar-besarkan di zaman ini.
Yang diceritakan Allah justru adalah amal Nabi Musa menuju pernikahan. Diceritakan bagaimana beliau yang tidak pernah ambisi mengejar wanita spesifik, bersikap mudah menerima terkait tawaran wanita yang zahirnya salehah, sifat memenuhi janji, sangat menjaga ucapan, punya ketahanan tinggi dalam hal kesabaran menunggu yang halal, konsisten beramal baik, bersikap maksimalis dalam melakukan kebaikan, takut terhadap Allah dan rasa tawakal yang sangat tinggi kepada Allah.
Yakni diceritakan kisah Nabi Musa harus berjuang keras menggembala selama 10 tahun untuk mendapatkan istri! Allah menceritakannya sebagai berikut,
Artinya,
“Dia (ayah kedua perempuan itu) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya sepuluh tahun, itu adalah (suatu kebaikan) darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Dia (Musa) berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan atas diriku (lagi). Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Q.S. al-Qaṣaṣ: 27-28)
***
Kisah pernikahan Nabi Musa menunjukkan yang penting dalam proses pernikahan di sisi Allah itu bukan sisi romantismenya.
Bukan sejarah cintanya, karena menikah memang tidak harus cinta.
Bukan “uwu-uwu” dalam berbulan madu.
Bukan detik-detik akadnya.
Tapi justru yang ditonjolkan Allah adalah amal salehnya!
Perjuangan menggembala sampai 10 tahun demi memperoleh yang halal!
Perjuangan Nabi Musa dalam menjaga kehormatan, rela korban perasaan demi menunggu yang halal dan bersikukuh dengan prinsip hanya mau dengan yang halal.
Juga akhlak memenuhi janjinya!
Juga keyakinannya dengan pertolongan Allah!
Juga kepercayaan kepada Allah terhadap hal gaib!
Adapun masalah romantisme, cinta dan uwu-uwu, maka itu perkara picisan.
Allah tidak mengharamkannya asal tidak melampaui batas. Tapi tidak memandangnya perkara penting sama sekali sehingga tidak disebut dalam cerita
***
Jadi, saat mengingat kembali sejarah awal pernikahan kita, yang paling penting justru amal-amal yang kita lakukan dalam proses menuju akad nikah.
Prosesnya halal apa haram?
Bisakah menahan diri sehingga tidak bermaksiat dengan calon?
Bisakah konsisten untuk selalu jujur walaupun tergoda berkali-kali untuk berbohong?
Bisakah selalu menjaga amanah saat tergoda berkali-kali untuk berkhianat?
Saat cinta mulai membara, apakah tambah taat kepada Allah atau malah jauh dari Allah?
Saat kenal dengan calonnya, akhlaknya tambah mulia atau malah tambah buruk?
Bisakah menahan emosi saat dipicu amarahnya?
Bisakan bersabar saat dihina, difitnah dan dijelek-jelekkan?
Bisakah memaafkan orang-orang yang menyakiti?
Bisakah menahan lisan berkata tidak baik saat diuji ucapan buruk di sekeliling?
Bisakah memenuhi janji saat berjanji ?
Bisakah makin birrul walidain atau justru malah durhaka kepada orang tua?
Bisakah makin menyambung silaturahmi atau justru malah memutus silaturahmi?
Bisakah konsisten bervisi akhirat saat dituntut memburu dunia?
Dan seterusnya.
***
Adapun sisi romantisme dan cinta, maka itu mubah-mubah saja.
Tapi tidak perlu dibesar-besarkan, diceritakan, apalagi dipamer-pamerkan.
Buruk sekali dampaknya pamer kemesraan itu. Siapa yang mau mengambil pelajaran terkait kejadian apa saja yang menimpa orang yang memamerkan romantismenya, niscaya akan mendapatkan banyak contoh dalam kehidupan.
Romantisme dan kemesraan itu cukup dinikmati dengan penuh rasa terima kasih kepada Allah, lalu susul segera dengan amal saleh dalam rangka bersyukur. Bukan untuk dibesar-besarkan, sehingga memberi kesan mulianya perkara duniawi padahal Allah sangat membenci dunia.
11 Zulkaidah 1444 H/ 31 Mei 2023 pukul 10.42