Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara solusi agar tidak salah pilih suami adalah MENAWARKAN DIRI.
Yakni menawarkan diri kepada lelaki saleh yang sudah jelas reputasinya, akhlaknya dan dinnya, bukan lelaki majhul yang tidak diketahui kualitas aslinya. Yakni yang segala akhlak dan wataknya adalah hasil pencitraaan.
Menawarkan diri bukan tabu, bukan tanda murahan, bukan tanda tak tahu malu dan bukan bentuk kehinaan. Tapi justru bentuk kedalaman ilmu karena tahu bagaimana syariat masalah ini dan juga tahu bagaimana kebiasaan orang-orang saleh dalam hal ini.
Juga menunjukkan ketegasan wanita yang tahu kepada siapa dia mempersembahkan baktinya.
Juga bentuk keseriusan wanita untuk menjaga din dan dunianya.
Dikatakan menjaga din, karena jika wanita sampai salah pilih, ketemu lelaki “error”, maka dia bisa terseret untuk menjadi rusak dinnya, atau minimal tertimpa kesedihan dan kesusahan luar biasa yang membuat dinnya menjadi rapuh dan mudah hancur.
Dikatakan menjaga dunianya, karena jika wanita sampai salah pilih, ketemu lelaki yang “trouble maker”, maka justru bisa jadi hartanya yang malah habis karena lelaki itu, atau malah terjerat utang, atau mengalami penderitaan gara-gara suami yang tidak peduli nafkah.
Bukankah sangat bijaksana untuk memutuskan hidup dengan lelaki yang sudah dipercaya bisa mengajak dan menggandeng tangannya menuju surga?
Menawarkan diri atau menawarkan wanita yang berada dalam perwaliannya supaya dinikahi lelaki saleh adalah di antara adab baik yang banyak diabaikan di zaman sekarang. Al-Qurṭubī berkata,
Artinya,
“Termasuk hal baik adalah seorang lelaki menawarkan wanita yang berada di bawah perwaliannya atau wanita menawarkan dirinya kepada lelaki saleh, sebagai bentuk berteladan kepada al-salafus ṣāliḥ.” (Tafsīr al-qurṭubī, juz 13 hlm 271)
Menunggu dan bersikap pasif dilamar itu boleh saja. Hanya saja cara ini beresiko. Karena tidak semua lelaki yang datang itu dikenal dengan baik. Tidak semua lelaki yang datang reputasinya diketahui dengan baik.
Terkadang, bahkan mungkin banyak terjadi kasus para wanita merasa salah pilih.
Merasa tertipu.
Merasa salah memutuskan.
Merasa menyesal setelah itu.
Kelihatannya sabar dan lembut, tapi setelah menikah ternyata wataknya keras dan KDRT.
Kelihatan romantis saat belum menikah, tapi setelah menjadi pasangan suami-istri ternyata cuek bebek.
Kelihatan bertanggung jawab dan baik, tapi ternyata setelah menikah tidak peduli nafkah.
Dikira menikah betulan, ternyata si lelaki hanya ingin “incip-incip”.
Dikira menikah sampai mati, ternyata hanya sebentar sudah dicerai.
Jadi, di antara solusi untuk meminimalisasi kasus “salah pilih suami” adalah mengubah tradisi yang dianggap tabu atau dianggap aib itu. Wanita salehah sudah harus punya keberanian untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang diduga kuat bisa mengajaknya menuju rida Allah. Baik melalui perantaraan orang lain maupun dirinya sendiri.
Adapun teknisnya, saat menawarkan diri untuk menikah, yang terbaik adalah jika wali wanita yang menawarkan. Karena jika wali yang menawarkan maka suasananya lebih serius dan terhormat.
Seperti Nabi Syuaib menawarkan putrinya kepada nabi Musa atau seperti Umar menawarkan putrinya kepada Abu Bakar.
Boleh juga selain wali seperti teman, ustaz, pembantu dll seperti Khadijah mengutus sahabatnya yang bernama Nafisah untuk menawari Rasulullah.
Jika wanita tidak punya wali atau orang yang dipercaya, atau kondisi khusus lainnya, maka boleh juga menawarkan diri secara langsung, karena ada wanita di zaman Nabi yang menawarkan diri secara langsung kepada Rasulullah.
Bisa secara lisan langsung tanpa khalwat, atau lewat surat.
Japri lewat medsos semakna dengan surat ini yang hukum asalnya mubah. Tapi interaksi bisa jatuh haram jika dicampur perbuatan tidak syar’i semacam dusta, khianat, gunjingan, rayuan, kirim konten haram dan semisalnya.
Kita tidak bisa mengharamkan jenis japri seperti ini karena banyak muslimah juga membutuhkan wasilah japri ini untuk bertanya kepada ulama dalam urusan din, termasuk urusan bisnis. Jadi yang dijaga adalah adab berkirim suratnya, bukan diharamkan berkirim suratnya.
Adapun jika menawarkan lalu ditolak, maka tidak masalah. Bukan cela dan bukan aib. Umar pernah menawarkan putrinya kepada Utsmān dan Abū Bakar tapi ditolak dan itu tidak masalah. Di zaman Nabi ﷺ juga pernah ada wanita ﷺ yang menawarkan diri kepada Rasulullah ﷺ lalu ditolak Rasulullah ﷺ dan tidak menjadi aib baginya.
Menawarkan diri bagi wanita lalu ditolak justru lebih bersih daripada diam sambil menunggu dan kirim-kirim kode. Yang seperti itu peluang mengotori hati malah lebih besar dan lebih lama.
Beda jika tegas menawarkan diri, lalu tahu ditolak, maka muslimah tersebut bisa segera berjuang dan cepat menghilangkan keinginan hatinya.
Justru bisa jadi saat ditolak itu menunjukkan bahwa Allah hendak menyiapkan orang yang lebih sesuai “level”nya . dengan bukti wanita di zaman Nabi yang menawarkan diri itu seketika itu juga mendapatkan suami Sahabat. Bahkan Umar yang ditolak Abu Bakar dan Utsmān malah mendapatkan yang jauh lebih baik yakni Rasulullah ﷺ!
Sesuatu menjadi aib jika maksiat. Selama halal, bahkan sesuatu yang disebut ulama sebagai adab baik, maka tidak boleh disebut sebagai aib.
Menawarkan diri kepada lelaki beristri juga bukan dosa. Sebab wanita yang menawarkan diri kepada Rasulullah ﷺ juga tahu bahwa Rasulullah ﷺ sudah beristri. Saat umar menawarkan Hafsah kepada Abu bakar beliau juga tahu bahwa Abu bakar sudah beristri.
Wallahua’lam
Tulisan semakna bisa dibaca di sini,
https://irtaqi.net/2016/09/08/ketika-muslimah-jatuh-cinta-apa-yang-harus-dilakukan/
20 Zulkaidah 1444 H/ 9 Juni 2023 pukul 09.14