Oleh: Ust. Muafa
1. ABU SA’ID AL-KHUDRI
TEKS HADIS KEDUA
وعن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «إن الماء طهور لا ينجسه شيء». أخرجه الثلاثة وصححه أحمد
***
وعن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال
“dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata..”
Nama asli dari Abu Said Al-Khudri adalah Sa’ad (سَعْد). Ayahnya bernama Malik bin Sinan (مَالِك بْن سِناَن) yang wafat saat perang Uhud. Abu Sa’id adalah kunyah beliau. Sedangkan laqob Al-Khudri berasal dari kata Khudroh, yaitu salah satu nama kampung dari kaum Anshar.
Pada saat perang Uhud, beliau sempat menawarkan diri untuk menjadi tentara, namun ditolak oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena usianya masih 13 tahun (usia minimal untuk berangkat jihad adalah 15 tahun). Beliau juga termasuk salah satu sahabat yang mengikuti baiat Ridhwan, yakni baiat di bawah pohon sebelum memasuki kota Makkah.
Beliau juga termasuk sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadis. Baqi bin Makhlad meriwayatkan dalam musnadnya 1170 hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri. Beliau juga termasuk ulama’ fuqoha’ mujtahid di kalangan sahabat yang menjadi mufti Madinah.
Beliau wafat pada tahun 74 H pada usia 86 tahun dan dikebumikan di Baqi’.
2. KAJIAN BALAGHOH SABDA NABI
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «إن الماء طهور لا ينجسه شيء»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya air tersebut bisa mensucikan, tidak ada sesuatupun yang menajiskannya.”
Lafaz inna adalah harf ta’kid (kata penegas), cukup diterjemahkan sesungguhnya.
Alif lam pada lafaz الماء adalah alif lam ‘ahdiyyah sehingga lebih tepat diterjemahkan tersebut karena air yang disebut Nabi adalah air tertentu yang telah disebutkan sebelumnya.
Patut diketahui, bahwa sabda Nabi ini adalah jawaban sebuah pertanyaan. Beliau ditanya tentang status kesucian air tertentu, lalu beliau menjawab bahwa air tersebut mensucikan.
Lafaz thohur sudah dibahas pada syarah hadis sebelumnya, yakni bermakna muthohhir/ sesuatu yang mensucikan.
Lafaz yunajjisu adalah fi’il mudhori’ yang berasal dari kata najjasa.
Arti najjasa adalah membuat jadi najis. Dalam kajian shorof, wazan fa’-‘ala (dengan mentasydidkan ‘ain) di antara maknanya adalah menisbatkan sesuatu pada asal kata. Jadi, jika dikatakan NAJJASA, maka maknanya adalah menisbatkan sesuatu pada najasah/najis. Dengan kata lain, najjasa bisa diartikan menajiskan/ membuat menjadi najis.
Dengan demikian secara keseluruhan pemaknaan lafaz hadis Nabi adalah:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya air tersebut bisa mensucikan, tidak ada sesuatupun yang menajiskannya.”
Pada titik ini, ada sedikit unsur balaghoh dalam hadis Nabi ini yang menarik dikaji, yakni penggunaan lafaz inna.
Dalam bahasa Arab, jika seseorang berbicara kepada orang lain, maka secara umum orang yang diajak bicara (mukhothob) itu bisa dibagi menjadi tiga:
1. Orang yang kosong informasi (خالي الذهن). Jika mukhothob seperti ini kondisinya, maka ucapan yang disampaikan kepadanya cukup ucapan biasa tanpa perlu ta’kid (penekanan). Misalnya kita ingin memberi informasi bahwa Zaid berada di pasar, maka cukup kita katakan:
زيد في السوق
“Zaid di pasar”
2. Orang yang ragu-ragu (متردد). Jika mukhothob seperti ini kondisinya, maka ucapan yang disampaikan kepadanya perlu diberi ta’kid (penekanan/penegas). Misalnya kita ingin memberi informasi bahwa Zaid berada di pasar, maka kita bisa mengatakan:
إن زيدا في السوق
“Sesungguhnya Zaid di pasar”
3. Orang yang ingkar (منكر). Jika mukhothob seperti ini kondisinya, maka ucapan yang disampaikan kepadanya tidak cukup hanya diberi ta’kid (penekanan/penegas), namun perlu juga disertai dengan sumpah. Misalnya kita ingin memberi informasi bahwa Zaid berada di pasar, maka kita bisa mengatakan:
والله إن زيدا في السوق
“Demi Allah, sesungguhnya Zaid di pasar”
Atas dasar ini bisa disimpulkan, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan disertai penegas:
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم: «إن الماء طهور لا ينجسه شيء»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya air tersebut bisa mensucikan, tidak ada sesuatupun yang menajiskannya.”
Hal ini bermakna bahwa orang yang bertanya kepada beliau dalam kondisi seolah-olah ragu dan ingin kepastian terkait dengan status air yang ditanyakan.
3. ASBABUL WURUD HADIS INI
Mengapa penanya sampai berada dalam kondisi keraguan terkait status kesucian air tertentu? Kita akan memahami lebih baik jika mengetahui asbabul wurud hadis ini.
Riwayat asbabul wurud hadis ini di antaranya disebutkan Abu Dawud dalam sunannya.
Abu Dawud meriwayatkan:
سنن أبى داود – م (1/ 24)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِىَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلاَبِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ »
“dari Abu Sa’id Al Khudri bahwasanya pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Bolehkah kita berwudhu dari sumur Budho’ah? Yaitu sumur yang dilemparkan ke dalamnya bekas pembalut haidh, (bangkai) daging anjing, dan sesuatu yang berbau busuk.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Air tersebut bisa mensucikan suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.”
Ternyata asbabul wurud hadis itu adalah pertanyaan shahabat tentang status air yang terdapat dalam sumur Budho’ah, apakah suci dan mensucikan sehingga bisa digunakan untuk berwudhu ataukah tidak. Yang membuat ragu adalah adanya barang-barang najis yang masuk secara tidak sengaja ke dalam sumur itu, seperti bekas pembalut haid wanita, bangkai anjing dan benda-benda busuk.
Mereka juga tidak bisa dengan tegas langsung menilai bahwa air tersebut najis, karena meskipun tercampur benda najis namun sifat-sifat air dalam sumur Budho’ah tersebut tidak berubah, baik warna, rasa maupun baunya.
4. SUMUR BUDHO’AH
Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ada sebuah sumur yang bernama Budho’ah. Pelafalan yang benar menurut riwayat adalah Budho’ah, bukan Bidho’ah.
Lebar sumur ini menurut observasi Abu Dawud adalah 6 dziro’. Satu dziro’ menurut konversi Rowwas Qol’ahji setara dengan 46,2 cm. Jadi 6 dziro’ kira-kira 2,8 meter.
Dalam kondisi airnya melimpah, orang dewasa yang masuk ke dalamnya akan melihat air mencapai ‘anah (العانة) yakni tempat tumbuhnya rambut kemaluan.
Dalam kondisi airnya surut, air sumur itu mencapai bawah lutut orang dewasa.
Abu Dawud berkata:
سنن أبي داود (1/ 18)
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وسَمِعْت قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ، قَالَ: سَأَلْتُ قَيِّمَ بِئْرِ بُضَاعَةَ عَنْ عُمْقِهَا؟ قَالَ: أَكْثَرُ مَا يَكُونُ فِيهَا الْمَاءُ إِلَى الْعَانَةِ، قُلْتُ: فَإِذَا نَقَصَ، قَالَ: دُونَ الْعَوْرَةِ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: ” وَقَدَّرْتُ أَنَا بِئْرَ بُضَاعَةَ بِرِدَائِي مَدَدْتُهُ عَلَيْهَا، ثُمَّ ذَرَعْتُهُ فَإِذَا عَرْضُهَا سِتَّةُ أَذْرُعٍ
“Saya telah mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata; Saya pernah bertanya kepada penjaga sumur tersebut tentang kedalamannya, dia menjawab; “Dalam kondisi air yang maksimal bisa mencapai tempat tumbuhnya bulu kemaluan.” Saya bertanya; “Apabila surut?” Dia menjawab; “Di bawah aurat.” Abu Dawud berkata; Dan saya sendiri pernah mengukur sumur Budho’ah dengan selendang saya, saya julurkan ke dalam sumur kemudian saya tarik kembali, ternyata tingginya adalah enam hasta.”
Di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, pembalut wanita, daging anjing, dan bangkai kadang masuk ke dalam di sumur ini. Maka para shahabat bertanya, bolehkah bersuci dengan air dalam sumur ini?
Apa jawaban Nabi?
Jawaban nabi adalah inti utama pembahasaan hadis ini. Atas dasar hadis ini pula ada ikhtilaf fuqoha’ bagaimana status kesucian air yang terkena najis jika mengubah sifat air atau tidak mengubahnya. Termasuk batasan minimal dua qullah yang diperselisihkan dari sisi apakah bisa dikaitkan dengan hadis ini atau tidak.
5. PERKIRAAN VOLUME AIR SUMUR BUDHO’AH
Perhitungan perkiraan konversi volume air Budho’ah disajikan sebagai berikut:
Lebar sumur = 6 dziro’
1 dziro’ = 46,2 cm
Lebar /diameter (dalam cm) = 6 x 46,2 cm = 277,2 cm
r/jari-jari = = 138,6 cm
Tinggi air jika sedang banyak (t1)= setinggi tumbuhnya rambut kemaluan (kira-kira separuh dari tinggi badan keseluruhan)
Tinggi rata-rata orang Arab = 168,7 cm, dibulatkan menjadi = 170 cm
Tinggi air jika sedang banyak = 170 cm : 2 = 85 cm
Tinggi air jika sedang sedikit (t2) = di bawah lutut (kira-kira separuh dari tinggi tumbuhnya rambut kemaluan) = 85 cm : 2 = 42,5 cm
Rumus menghitung volume air:
V = πr^2t, dengan π = 3,14
Volume air jika sedang banyak:
V1= πr^2t1
= 3,14 × 138,6^2 cm × 85 cm
= 5.127.138,324 cm^3
= 5.127,138324 dm^3 (liter)
= 5,13 m^3
Volume air jika sedang sedikit:
V2= πr^2t2
= 3,14 × 138,6^2 cm × 42,5 cm
= 2.563.569,162 cm^3
= 2.563,569162 dm^3 (liter)
= 2,56 m^3
6. CARA MASUKNYA NAJIS DALAM SUMUR BUDHO’AH
Dalam hadis di atas ada lafaz yang bisa menimbulkan salah paham, yaitu lafaz yang berbunyi:
وَهِىَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلاَبِ وَالنَّتْنُ
“.. Yaitu sumur yang dilemparkan ke dalamnya bekas pembalut haidh, (bangkai) daging anjing, dan sesuatu yang berbau busuk.”
Sekilas membaca lafaz di atas bisa menimbulkan persepsi bahwa kaum muslimin di zaman itu terbiasa membuang pembalut wanita, bangkai dan berbagai najis dengan sengaja ke dalam sumur Budho’ah. Seakan-akan sumur Budho’ah itu juga difungsikan sebagai tempat sampah.
Persepsi ini tidak benar, karena masuknya najis ke dalam sumur tersebut adalah karena terseret banjir, bukan dimasukkan dengan sengaja. Demikian keterangan Al-Maghribi dalam kitabnya; Al-Badru At-Tamam yang mengutip penjelasan Al-Khotthobi dalam Ma’alim As-Sunan.
معالم السنن (1/ 37)
قد يتوهم كثير من الناس إذا سمع هذا الحديث ان هذا كان منهم عادة وأنهم كانوا يأتون هذا الفعل قصدا وتعمدا وهذا ما لا يجوز أن يظن بذمي بل بوثني فضلا عن مسلم ولم يزل من عادة الناس قديما وحديثا مسلمهم وكافرهم تنزيه المياه وصونها عن النجاسات فكيف يظن بأهل ذلك الزمان وهم أعلى طبقات أهل الدين وأفضل جماعة المسلمين. والماء في بلادهم أعز والحاجة إليه أمس أن يكون هذا صنيعهم بالماء وامتهانهم له، وقد لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم من تغوط في موارد الماء ومشارِعِه فكيف من اتخذ عيون الماء ومنابعه رصدا لأنجاس ومطرحا للأقذار، هذا ما لا يليق بحالهم، وإنما كان هذا من أجل أن هذه البئر موضعها في حَدور من الأرض وأن السيول كانت تكسح هذه الأقذار من الطرق والأفنية وتحملها فتلقيها فيها وكان الماء لكثرته لا يؤثر فيه وقوع هذه الأشياء ولا يغيره
“Kadang-kadang kebanyakan orang menyangka ketika mendengar hadist ini, bahwasanya perbuatan seperti ini yakni melempar benda-benda najis itu adalah kebiasaan mereka, dan bahwasanya mereka melakukan perbuatan ini secara sengaja, padahal yang seperti ini untuk orang kafir dzimmi saja tidak boleh diduga (bahwa dia melakukan perbuatan tersebut), bahkan penyembah berhala sekalipun, apalagi terhadap orang-orang muslim (tentu lebih mustahil lagi mereka melakukannya).
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang, baik muslim maupun kafir bahwa mereka itu menjaga kebersihan air dari najis, maka bagaimana bisa diduga penduduk di zaman itu, yakni zaman Nabi sementara mereka adalah generasi tertinggi dalam dien dan kelompok terbaik di kalangan kaum muslimin bahwa mereka akan melakukan perbuatan tersebut?
Air di negeri mereka adalah sangat berharga, kebutuhan terhadapnya sangat tinggi. Maka, perbuatan yang seperti ini terhadap air serta penghinaan mereka terhadapnya adalah hal yang mustahil.
Rasulullah melaknat orang-orang yang buang air besar di tempat-tempat air yang didatangi orang serta tempat minum orang, lalu bagaimana mungkin orang yang menjadikan tempat sumber air sebagai tempat membuang najis dan membuang kotoran? Ini sesuatu yang tidak pantas bagi mereka.
Yang lebih tepat adalah (memahami) bahwa sumur ini lokasinya berada di tempat yang rendah, dan bahwasanya banjir-banjir itu menyapu kotoran-kotoran dari jalan-jalan serta halaman-halaman rumah, lalu kemudian membawanya dan melemparkannya secara tidak sengaja ke dalam sumur. Air di dalam sumur itu oleh karena banyaknya volumenya, maka jatuhnya benda-benda kotor ini tidak berpengaruh padanya dan tidak mengubahnya ”
Ketika Abu Dawud dalam sunannya melaporkan saat beliau mengamati sumur Budho’ah bahwa warna airnya berubah, maka ini sudah terpisah zaman dengan zaman Rasulullah. Abu Dawud wafat tahun 275 H, artinya beliau hidup di abad ketiga hijriyah.
Berubahnya air dalam sumur Budho’ah disebabkan karena lama mengendapnya air di situ, bukan karena barang najis asing yang dilemparkan ke dalamnya. Abu Dawud berkata:
سنن أبي داود (1/ 18)
وَسَأَلْتُ الَّذِي فَتَحَ لِي بَابَ الْبُسْتَانِ فَأَدْخَلَنِي إِلَيْهِ، هَلْ غُيِّرَ بِنَاؤُهَا عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ؟ قَالَ: لَا، وَرَأَيْتُ فِيهَا مَاءً مُتَغَيِّرَ اللَّوْنِ
“Kemudian saya bertanya kepada orang yang membukakan pintu kebun untukku dan mengantarkanku kepadanya; “Apakah bangunan sumur ini telah dirubah dari bangunan semula?” Dia menjawab; “Tidak.” Dan saya melihat kedalam sumur, terdapat air yang sudah berubah warnanya.”