Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Saudara/i sekandung/seayah maupun saudara/i seibu semuanya gugur melalui istidlal ayat tentang kalalah. Lafaz kalalah ini yang menjadi sumber untuk mengetahui ahli waris mana saja yang menggugurkan saudara.
Ahli waris yang mengugurkan saudara itu digali dari pengertian umum implisit ayat yang membahas mayit yang wafat dalam keadaan berstatus sebagai kalalah, tapi dalil utamanya justru dari pengertian bahasa kalalah yang bermakna man laa walada lahu walau walida (orang yang tidak memiliki anak dan orang tua)
Walid mencakup abun (ayah) dan ummun (ibu).
Walad mencakup ibnun (putra) dan bintun (putri).
Jika konsisten dengan definisi ini, seharusnya saudara/saudari sekandung/seayah maupun saudara/saudari seibu semuanya gugur oleh ayah, ibu, putra, dan putri (termasuk ayah majasi dan putra majasi)
Tapi untuk kasus saudara/saudari sekandung/seayah, mereka dirumuskan hanya gugur oleh 3 orang; ayah, putra, dan putra putra terus ke bawah.
Mengapa?
Ibu dikecualikan berdasarkan ayat yang menjelaskan bahwa ibu mendapatkan 1/6 bersama ikhwah (saudara/saudari lebih dari dua orang), artinya kehadiran ibu tidak menggugurkan ikhwah apapun jenis kelamin ikhwah dan dari 3 arah (sekandung, seayah atau seibu) sekalipun.
Putri dikecualikan, yakni tidak menggugurkan saudari sekandung/seayah berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud yang memberi informasi bahwa saudara sekandung/seayah malah menjadi ashobah bersama putri.
Putri juga dikecualikan, yakni tidak menggugurkan saudara sekandung/seayah berdasarkan riwayat saudara Sa’ad bin Ar-Robi’ yang tetap mendapatkan warisan sebagai ashobah bersama istri dan dua putri Sa’ad.
Hanya saja untuk kasus saudara/saudari seibu, mereka gugur oleh 4 orang; ayah, kakek (dari pihak ayah) terus ke atas, anak, dan anak putra terus ke bawah.
Mengapa? Kok seperti tidak konsisten?
Bukankah dasarnya sama-sama digali dari pengertian kalalah?
Ternyata jawabannya begini,
Hukum asal seluruh saudara itu mestinya gugur oleh makna yang tercakup pada lafaz walid (abun/ayah dan ummun/ibu) dan walad (ibnun/putra dan bintun/putri) termasuk walid majasi dan walad majasi.
Tapi karena ada takhsish untuk ibu dalam Al-Qur’an, maka penggugur saudara “menyempit” menjadi abun/ayah, ibnun/putra dan bintun/putri.
Lalu karena ada takhsish dalam hadis bahwa putri tidak menggugurkan saudara dan saudari, maka para penggugur itu “menyempit” lagi menjadi abun/ayah dan ibnun/putra.
Nah, saudara dan saudari yang tidak gugur oleh putri itu ternyata saudara/saudari sekandung, karena itu putri dibatasi hanya tidak menggugurkan saudara/saudari sekandung termasuk yang semakna dengannya yaitu saudara/saudari seayah.
Dengan demikian, untuk saudara/saudari seibu, kembali ke hukum asal yakni gugur oleh abun, ibnun, bintun. Bahasa lain ibnun+bintun adalah walad. Akhirya disimpulkan saudara/saudari seibu gugur oleh abun, abun majasi (abu abin wa in ‘ala), waladun, dan walad majasi (walad ibnin wa in safala)