Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Saya membayangkan fitnah Dajjal itu terutama sekali muncul dalam bentuk fitnah pemikiran.
Yakni fitnah pemikiran yang gambarannya kira-kira seperti fitnah Samiri (السامري) di zaman nabi Musa atau bahkan jauh lebih dahsyat berlipat-lipat.
Bagaimana gambaran fitnah Samiri itu?
Coba bayangkan, seperti apa level pemikiran, argumentasi dan sumber daya yang dimiliki Samiri hingga bisa menyesatkan suatu kaum yang levelnya seperti sahabat Rasulullah ﷺ!
Bayangkan suatu kaum yang masih ada Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Salām, Ubay bin Ka’ab, dan raksasa-raksasa ilmu lainnya, lalu kaum tersebut (separuhnya atau lebih!) bisa dibuat melakukan perbuatan syirik!
Bayangkan, bukankan bani Israel yang disesatkan Samiri adalah murid-murid langsung nabi Musa!? Bukankah itu bermakna kaum yang disesatkan Samiri adalah kaum yang levelnya seperti para Sahabat Rasulullah ﷺ yang merupakan murid langsung beliau dan dibina langsung oleh beliau?
Bayangkan pula, bagaimana kaum tersebut bisa disesatkan saat nabi Musa masih hidup!
Bayangkan pula, bagaimana sampai selevel nabi Harun pun kalah pengaruh dan tidak bisa mencegah kemusyrikan itu!
Sudahkah terbayangkan sedahsyat apa level fitnah pemikiran yang dibawa oleh Samiri?
Oleh karena itu, menjadi menarik sebenarnya untuk melacak lebih dalam sebenarnya siapa Samiri itu.
Menarik pula untuk mengkaji bagaimana alur logikanya, pemikirannya, caranya membuat premis-premis sebelum mengajak menyembah anak sapi, konsepsi teologisnya, motivasi gerakannya, target propagandanya dan hal-hal yang semisal dengan itu.
Menarik pula diteliti, bagaimana latar belakang psikologis bani Israel, yakni satu kaum yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri kekuasaan Allah mengubah tongkat menjadi ular, melihat sendiri lautan terbelah hanya dengan pukulan tongkat, melihat sendiri bagaimana bukit diangkat di atas kepala mereka, bahkan mendengar sendiri Allah berbicara kepada mereka, bagaimana bisa kok kaum seperti ini disesatkan oleh Samiri?
Bagaimana sebenarnya latar belakang sosiologis masyarakat bani Israel?
Bagaimana budayanya?
Seperti apa latar politisnya?
Bagaimana situasi antropologisnya?
Bagaimana gambaran atmosfer akademisnya?
Lalu siapa sebenarnya hakikat Samiri itu? Mengapa dia punya kemampuan sedahsyat itu?
Jangan-jangan dia adalah Dajjal yang dijanjikan Nabi ﷺ akan muncul di akhir zaman? Benarkah dia Dajjal akhir zaman yang diberi usia panjang seperti Iblis, nabi Khidir, dan nabi Isa?
Patut dicatat, ada seorang ulama yang bernama Ibnu Barrajān yang memang berpendapat bahwa Samiri adalah Dajjal yang akan muncul akhir zaman itu. Al-Zarkasyī mengutipnya dalam kitab beliau yang bernama al-Burhān fī ‘Ulūmi Al-Qur’an. Nampaknya pendapat ini yang dipertajam oleh Muhammad Isa Dawud, seorang wartawan Mesir kemudian mengarang berbagai buku yang penuh spekulasi seperti “Dajjal akan muncul dari segitiga Bermuda”, “Hubungan Dajjal dengan piring terbang” dan lain-lain. Gagasan Muhammad Isa Dawud ini nampaknya sangat disenangi sejumlah penceramah akhir zaman hari ini. Saya sempat membuat tulisan berseri 20 lebih untuk mengkritik pikiran-pikiran Muhammad Isa Dawud ini.
Argumentasi yang dipakai untuk membuktikan Samiri adalah Dajjal adalah,
Pertama, Samiri bisa melihat malaikat Jibril dan jejak kudanya.
Kedua, Nabi Musa bersikap lembut, tenang dan tidak keras dalam menegurnya, padahal Nabi Musa dikenal sangat tegas dan bahkan menghukum mati semua pelaku kemusyrikan penyembah anak sapi. Tapi Samiri tidak dihukum bunuh, hanya diusir saja.
Ketiga, Samiri dalam Al-Qur’an disebut tidak bisa disentuh (lā misās).
Keempat, Samiri disebut dalam Al-Qur’an bahwa dia pasti akan menemui janji takdir di masa yang akan datang yang tidak bisa tidak akan datang kepadanya. Ini ditafsirkan sebagai janji bahwa dia akan dibunuh oleh Nabi Isa di akhir zaman.
Hanya saja, saya pribadi merasa belum puas dengan argumentasi tersebut. Argumentasi bantahannya adalah sebagai berikut,
Rasulullah ﷺ menerima wahyu dari Allah yang menyebut nama Samiri. Wahyu itu dibacakan kepada para Shahabat, dijelaskan isinya, dan dihafalkan. Akan tetapi Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah menjelaskan bahwa Samiri adalah Dajjal baik secara lugas maupun implisit. Padahal Rasulullah ﷺ juga mendapatkan wahyu tentang Dajjal yang disampaikan kepada umatnya terkait bahayanya, ciri-cirinya, cara berlindung darinya dan sebagainya. Tetapi tidak pernah satu huruf pun Rasulullah ﷺ mengaitkannya dengan Samiri dalam Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Samiri bukanlah Dajjal.
Rasulullah ﷺ juga pernah mencurigai Ibnu Shoyyad adalah Dajjal, akan tetapi tidak didapati riwayat sedikitpun yang menunjukkan beliau mencurigai Ibnu Shoyyad adalah Samiri sehingga disimpulkan Samiri adalah Dajjal. Kelahiran Ibnu Shoyyad juga diketahui sejumlah Shahabat. Bagimana mungkin Samiri yang hidup ribuan tahun sebelum zaman Ibnu Shoyyad, lalu tiba-tiba menjadi janin kembali lalu lahir menjadi Ibnu Shoyyad? Apakah kita hendak menganut ajaran reinkarnasi batil dengan meyakini Samiri adalah Dajjal?
Jika Samiri bukan Dajjal, lalu siapa sebenarnya hakikat Samiri itu?
Tidak mungkin Allah menyebut sebuah nama dalam Al-Qur’an yang akan dibaca sampai akhir zaman jika tidak memiliki nilai penting yang patut diperhatikan oleh umat Islam.
***
Saya tersentak teringat hal ini lagi setelah mendapatkan atsar Ibnu Mas‘ūd yang mengatakan umat yang paling mirip sejarahnya dengan umat Islam adalah Bani Israel. Artinya, jika Bani Israel pernah terjatuh dalam kemusyrikan secara massal, maka sangat mungkin umat Islam akan mengalami masa itu lagi, terutama di zaman Dajjal akan muncul. Sebab saat dia muncul seluruh pengikutnya akan memperlakukan dia sebagai tuhan. Sungguh terlalu magrūr kalau sampai meyakini umat Islam pasti akan selamat semuanya dari kemusyrikan dan tidak akan mengalami fitnah seperti yang pernah dialami bani Israel.
Beberapa fitnah dahsyat pemikiran hari ini yang menguji umat Islam seperti fitnah liberalisme, relativisme, ateisme dan semisalnya saya pandang sebagai fitnah “kecil” yang melempangkan jalan sebelum muncul fitnah terbesar akhir zaman, yakni fitnah si Dajjal itu. Fitnah yang “kecil” saja seperti itu sudah sangat dirasakan dampak luar biasanya di tengah-tengah umat. Apalagi jika Dajjal nanti benar-benar muncul.
Jadi, memberi perhatian terhadap sejarah Bani Israel di masa lalu menjadi sangat penting agar umat Islam tidak terjatuh pada lubang yang sama.
Tentu saja apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi. Sekeras apapun ikhtiar kita. Tapi tugas kita adalah beramal. Saat Allah menggolongkan kita ke dalam mereka yang berjuang meninggikan kalimat-Nya dalam ikhtiar itu, maka itu sudah menjadi kebahagiaan luarbiasa dan kemenangan yang nyata.
20 Rajab 1443 H/ 21 Februari 2022 jam 16.29