Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Kalau penyebab Banī Isrā’īl melakukan kemusyrikan di zaman Nabi Musa dengan menyembah patung anak sapi, saya sudah pernah membuat analisisnya dalam catatan berjudul “MENGAPA BANI ISRAEL MENYEMBAH ANAK SAPI?”
Setelah itu mereka kembali lagi pada tauhid.
Yang menarik, setelah peristiwa besar itu bagaimana bisa Banī Isrā’īl terjerumus kembali dalam kemusyrikan dengan penyembah berhala Ba’al (gambar saya lampirkan) yang menjadi dewa orang-orang Kanaan?
Apa mereka tidak mengambil pelajaran besar dari peristiwa fitnah Sāmirī yang sampai membuat mereka harus dihukum bunuh diri untuk menebus dosa syirik tersebut?
Apa yang membuat mereka terkesan “bermudah-mudah” dan “mentoleransi” kemusyrikan kembali?
***
Kajian terhadap sejarah asimilasi orang-orang Banī Isrā’īl dengan kaum musyrikin memberi kita pengertian bahwa paling tidak ada 3 faktor yang menyebabkan kemusyrikan bisa menyusup masuk dalam din mayoritas orang-orang Banī Isrā’īl.
Pertama, gesekan peradaban.
Kedua, pernikahan.
Ketiga, kebijakan politik.
***
Maksud gesekan peradaban adalah gesekan antara peradaban Banī Isrā’īl dengan bangsa-bangsa pagan yang berinteraksi dengannya. Di Mesir, sebenarnya Banī Isrā’īl terbiasa melihat penyembahan berhala. Dinasti Hyksos itu musyrik. Hanya saja karena mereka menghormati Nabi Yusuf, maka mereka tidak mengusik agama Nabi Ya’qub dan keturunannya. Bisa dikatakan di zaman ini Banī Isrā’īl masih teguh memegang identitas ketauhidannya.
Tapi begitu pemerintahan berganti dari dinasti Hyksos ke Fir’aun, maka ceritanya sedikit berbeda. Banī Isrā’īl tidak dihormati lagi. Dinasti Fir’aun memandang Banī Isrā’īl sebagai kaki tangan Hyksos yang merupakan musuh dinasti Fir’aun. Mereka ditindas, diperbudak dan anak-anak lakinya disembelihi. Ratusan tahun lamanya. Setiap hari mereka juga melihat penyembahan dewa-dewa dinasti Fir’aun. Termasuk dewa Ba’al yang juga disembah orang Mesir yang ternyata diimpor dari Kanaan.
Mental bangsa terjajah ini mempengaruhi kelemahan mereka dalam mempertahankan ajaran tauhid. Bangsa terjajah, lemah dan terhina itu cenderung suka instan, praktis, susah kritis, lemah semangat juangnya, cenderung suka yang enak-enak, gampang terpengaruh hal-hal yang terlihat ajaib, dan malas berfikir serius. Terbukti saat muncul fitnah Sāmirī. Begitu mudahnya sebagian besar mereka percaya saat diajari bahwa Allah telah ber-tajalli pada patung anak sapi betina sebagaimana Allah ber-tajalli pada sebuah pohon di bukti Tursina kepada Nabi Musa, dengan argumentasi bahwa anak patung tersebut bisa bersuara seperti hidup.
Jangankan dalam isu-isu krusial seperi akidah, urusan remeh masalah makanan saja mental mereka juga rapuh. Bukannya mensyukuri makanan mukjizat Manna dan Salwā, kebosanan hidup terlunta-lunta di padang membuat mereka ingin makanan enak-enak di Mesir yang sudah jadi kebiasaan mereka. Seakan-akan mereka rindu kembali ke Mesir dan ogah-ogahan diajak hijrah ke Kanaan.
Begitu sampai ke Kanaan, mereka mengalami semacam culture shock. Di Mesir mereka terbiasa dengan tanah subur dengan sumber air sungai Nil yang melimpah. Di Kanaan, mereka baru tahu bahwa pengairan pertanian sangat tergantung air hujan. Mereka melihat orang-orang Kanaan sangat serius menyembah Dewa Ba’al yang mereka yakini sebagai tuhan kesuburan. Sejumlah awam juhalā’ Banī Isrā’īl merasa bahwa menyembah Allah saja tidak mengubah nasib mereka. Betul, mereka mengakui bahwa Allah memang menolong Banī Isrā’īl dengan membelah laut saat dikejar pasukan Fir’aun, tapi mereka merasa tidak diperhatikan Allah saat meminta tanah mereka subur seperti orang-orang Kanaan. Di sisi yang lain, mereka melihat “bukti nyata” bagaimana keberhasilan pertanian orang-orang Kanaan karena mereka menyembah Ba’al. Akhirnya mereka melakukan kompromi: ya menyembah Allah, ya menyembah Ba’al! Menyembah Allah sebagai Tuhan yang menolong saat perang, menyembah Ba’al untuk kepentingan pertanian!
Ini diperparah dengan tafsir sesat sebagian oknum pemuka Banī Isrā’īl yang melakukan reinterpretasi terhadap salah satu hukum taurat terkait tauhid. Mereka memainkan pemaknaan diksi (על) dalam ayat Exodus 20 berikut ini,
לֹא-יִהְיֶה לְךָ אֱלֹהִים אֲחֵרִים, עַל-פָּנָי
Dalam versi Inggris ayat di atas di terjemahkan “Thou shalt have no other gods BEFORE me”. Tetapi (על) yang diterjemahkan “before”, oleh sebagian mereka ditafsirkan ulang melalui analisis linguistik memakai bahasa asli ibrani/Aramaik sehingga difahami maknanya dekat dengan “upon” atau “over” atau “above”. Dengan penafsiran ulang seperti itu mereka memahami bahwa yang dilarang Allah adalah menjadikan tuhan selain Allah sebagai tuhan tertinggi. Jadi kalau tetap menjadikan Allah sebagai tuhan tertinggi, sementara tuhan selain Allah di bawahnya maka itu tidak mengapa! Dengan demikian, jika Banī Isrā’īl tetap menyembah Allah sebagai Tuhan Tertinggi, lalu menyembah Ba’al sebagai dewa rendah di bawah Allah, maka itu tidak masalah! Penafsiran preposisi (על) akhirnya dijadikan sebagai titik tolak untuk mengonsep rangking dan kepangkatan dalam persoalan ketuhanan!
Ini mirip dengan tradisi sebagian orang di negeri kita yang menyembah Nyai Roro Kidul, atau Danyang penunggu atau dewa-dewa tertentu dengan alasan mereka melihat “bukti nyata” kabaikan atau keburukan yang dimunculkan oleh dewa-dewa tersebut walaupun tetap mengakui Allah sebagai Tuhan tertinggi.
***
Maksud faktor pernikahan adalah asimilasi budaya melalui jalur pernikahan.
Fitnah cinta itu memang dahsyat.
Sejak dulu.
Orang-orang Banī Isrā’īl sempat berlonggar-longar ria dengan menikahi orang-orang musyrik. Pernikahan ini tentu saja akan menyeret sikap hidup “toleransi” untuk mempertahankan rumah tangga. Suami mentoleransi penyembahan Ba’al istrinya dengan alasan menghormati keyakinan istri atau sebaliknya. Lama-lama generasi berikutnya memandang kemusyrikan seperti itu juga menjadi wajar. Keturunan mereka seperti sudah tidak bisa membedakan lagi mana tauhid dan mana musyrik. Selama masih meyakini Allah, mereka memandang itu baik-baik saja.
***
Maksud kebijakan politik adalah dijadikannya keyakinan agama sebagai kebijakan publik.
Ini masih terhubung dengan faktor pernikahan sebelumnya.
Salah seorang raja Banī Isrā’īl yang bernama Ahab menikahi wanita musyrik bernama Izebel. Nampaknya di zaman itu menikahi wanita musyrik dijadikan salah satu strategi politik untuk menguatkan aliansi. Jadi Izebel dinikahi Ahab dengan maksud itu karena dia adalah wanita bangsawan.
Celakanya Izebel ini termasuk musyrik militan.
Dengan pengaruhnya sebagai permaisuri, maka dia menjadikan penyembahan Ba’al sebagai seremonial negara sehingga akhirnya kemusyrikan benar-benar merajalela di zaman Raja Ahab ini.
***
Begitulah kira-kira sejarah masuknya kemusyrikan pada umat sebelum kita.
Dengan mengaca sejarah tersebut, seharusnya kita waspada betul agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
- Jangan cinta dunia, karena itu jalur tercepat untuk menjadi musyrik
- Jangan meremehkan pernikahan antar agama, karena itu pintu cepat untuk murtad
- Jangan meremehkan untuk peduli memilih pemimpin yang baik, agar tidak menyeret umat dalam kemusyrikan
19 Januari 2024/ 8 Rajab 1445 H pukul 09.53