Oleh : Ust. Muafa
Telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, bahwa dalam madzhab Asy-Syafi’i ada empat nama yang berkibar sebagai “guru besar” dalam hal tahrir madzhab Asy-Syafi’i. Mereka adalah Ar-Rofi’i, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Syamsuddin Ar-Romli. Ar-Rofi’i dan An-Nawawi yang terkenal dengan julukan Asy-Syaikhan digolongkan tokoh tahrir madzhab fase pertama sementara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli digolongkan ke dalam tokoh tahrir madzhab fase kedua. (Pembahasan lebih dalam bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “Ar-Rofi’i dan An-Nawawi, Dua Pendekar Ulama Syafi’iyyah” dan “Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli, Pelanjut Asy-Syaikhan”).
Untuk dua tokoh terakhir, yakni Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli, kehebatan ilmu mereka tidak mungkin dilepaskan dari jasa sang guru yang membimbing dan membentuk ilmu mereka, yaitu Zakariyya Al-Anshori. Tokoh yang terakhir ini, oleh karena keluasan ilmunya beliau mendapatkan gelar Syaikhul Islam (pembahasan lebih dalam tentang Syaikhul Islam bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Memahami Gelar Syaikhul Islam”). Beliau bisa dianggap sebagai “Khotimatu Thobaqoti An-Nudhdhor” (pamungkas generasi peneliti) dalam tarjih pendapat syaikhan. Murid-muridnya banyak. Yang paling tersohor diantaranya, Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Khothib Asy-Syirbini, Syihabuddin Ar-Romli, dan Syamsuddin Ar-Romli. Usianya panjang sekitar 100 tahun, sampai bisa bertemu bukan hanya murid-muridnya tetapi juga murid-murid dari murid-muridnya. Dengan level keilmuan, popularitas, karya-karya dan kiprah beliau, Abdullah bin Umar Bamakhromah menganggap beliau adalah mujaddid abad 9 H (bukan As-Suyuthi) sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Haitami. Karya-karyanya juga banyak. Jika dianalisis dan dipetakan, tampaklah bahwa karya-karya Zakariyya Al-Anshori itu menjadi poros dari seluruh karya ulama Asy-Syafi’iyyah muta-akkhirin termasuk dalam hal fatwa dan tadris. Bahkan juga menjadi poros karya-karya dua pendekar Asy-Syafi’iyyah tahrir madzhab fase kedua; Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli.
Pertanyaannya, jika sang guru keluasan ilmunya diakui sampai digelari Syaikhul Islam sementara sang murid tidak sampai mendapatkan gelar itu, mengapa Zakariyya Al-Anshori nampak seperti “kalah pamor” dengan muridnya?
Ada sejumlah kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini, tetapi penjelasan berikut barangkali bisa memberikan gambaran.
Populer bukan berarti ilmunya lebih dalam daripada yang tidak populer. Contohnya Al-Laits bin Sa’ad. Asy-Syafi’i bersaksi bahwa Al-Laits lebih fakih daripada Malik, tapi sejarah menunjukkan bahwa madzhab Malik lebih populer dan lebih banyak dipakai daripada madzhab Al-Laits. Di negeri kita juga demikian. Ulama yang sangat dalam ilmunya bisa jadi banyak. Hanya saja yang mendapatkan “panggung” dalam acara-acara publik tidak selalu mereka yang berilmu dalam. Malahan bisa kita saksikan banyak orang yang level keilmuannya belum layak disebut ulama tetapi lebih populer daripada mereka yang layak disebut ulama sejati.
Pengakuan kepakaran dalam bidang tertentu juga tidak bermakna status keulamaannya lebih tinggi daripada ulama yang lain. Ambil contoh Ibnu Al-Jazari. Beliau bisa dikatakan “raja” dalam ilmu qiroat dan melebihi An-Nawawi, tetapi keliru jika membayangkan beliau lebih berilmu daripada An-Nawawi dalam bidang fikih.
Demikianlah kira-kira yang terjadi antara Zakariyya Al-Anshori dengan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli. Popularitas murid bukan selalu bermakna keunggulan ilmu, tetapi lebih mengarah pada menonjolnya sang murid dalam aspek tertentu dalam fikih.
Dalam pembahasan pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli lebih menonjol daripada Zakariyya Al-Anshori karena dua murid ini lebih intens meneliti berbagai macam aqwal, wujuh, thuruq dalam madzhab Asy-Syafi’i sehingga hasil tarjihnya lebih tajam (pembahasan lebih detail bisa dibaca dalam tulisan saya yang berjudul “Qoul, Wajh Dan Thoriq Dalam Istilah Ulama Syafi’iyyah”). Bisa jadi kedua muridnya tidak seluas gurunya dalam hal keluasan manqulat (ilmu naqli) dan ma’qulat (ilmu aqli), tetapi dalam hal tahrir madzhab mereka lebih pakar.
Dari sisi keilmuan fikih, secara umum sebenarnya bisa dikatakan bahwa Zakariyya Al-Anshori, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli (termasuk murid Zakariyya Al-Anshori yang lain yang bernama Al-Khothib Asy-Syirbini) adalah ulama Asy-Syafi’iyyah yang tingkatan keulamaan mereka dalam madzhab Asy-Syafi’i berdekatan. Pendapat keempat ulama ini mu’tabar untuk mengetahui pendapat mu’tamad dalam madzhab Asy-Syafi’i. Hanya saja, jika ada ikhtilaf, maka kesepakatan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli didahulukan. Jika dua syaikh ini berbeda pendapat, maka mufti bisa memilih tanpa tarjih. Jika sanggup mentarjih maka mentarjih antara dua syaikhan ini. Setelah itu baru pendapat Zakariyya Al-Anshori dipertimbangkan, yakni dalam kitab-kitabnya sesuai urut-urutan yang telah diketahui. Setelah itu baru Ashabul Hawasyi.
Sampai di sini bisa disimpulkan, kedudukan Zakriyya Al-Anshori dalam madzhab Asy-Syafi’i adalah tetap dijadikan rujukan, hanya saja levelnya dibawah muridnya sendiri yaitu Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli.
Dalam pembicaraan upaya mengetahui pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i pada masa tahrir madzhab Asy-Syafi’i fase kedua, posisi Zakariyya Al-Anshori adalah berada pada urutan ketiga. Lebih jelasnya, gradasi hasil tarjih ulama yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut,
1. Hasil tarjih yang disepakati Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli
2. Hasil tarjih Ibnu Hajar Al-Haitami saja atau Syamsuddin Ar-Romli saja
3. Hasil Tarjih Zakariyya Al-Anshori
4. Hasil tarjih Ashabu Al-Hawasyi (أصحاب الحواشي)
Yang dimaksud ashabul hawasyi adalah ulama-ulama yang mengarang hasyiyah untuk karya-karya ulama tahrir madzhab di atas. Contohnya seperti Asy-Syirwani dan Al-‘Abbadi yang membuatkan hasyiyah untuk Tuhfatu Al-Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami, At-Tarmasi dan Al-Kurdi yang membuatkan hasyiyah untuk Al-Minhaj Al-Qowim karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Qolyubi dan ‘Amiroh yang membuatkan hasyiyah untuk Kanzu Ar-Roghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli, Asy-Syabromallisi dan Ar-Rosyidi yang membuatkan hasyiyah untuk Nihayatu Al-Muhtaj karya Syamsuddin Ar-Romli dan lain-lain. Wallahua’lam.