Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Seorang ateis pernah datang kepada Ja’far al-Ṣādiq.
Si Ateis ini mengingkari adanya Sang Pencipta.
Ja’far al-Ṣādiq bertanya kepadanya,
“Kamu pernah mengarungi lautan?”
Ateis menjawab,
“Ya, pernah.”
Ja’far al-Ṣādiq bertanya,
“Pernah punya pengalaman mengerikan di laut?”
Ateis menjawab,
“Ya. Pernah suatu hari angin bertiup sangat kencang. Kapal hancur berkeping-keping dan semua kelasi/awak kapal tenggelam. Aku bergantungan pada sebilah papan dan aku terombang-ambing di tengah hantaman ombak. Akhirnya aku terdampar di pantai.”
Ja’far al-Ṣādiq bertanya,
“Selama perjalanan di laut, awalnya engkau menggantungkan harapanmu agar tidak tenggelam pada kapal dan kelasi. Begitu kapal hancur, engkau menggantungkan harapanmu pada sebilah papan sampai engkau selamat. Seandainya kapal, kelasi semua lenyap dan papan pun tidak ada, apakah engkau berharap mati ataukah berharap selamat?”
Ateis menjawab,
“Tentu berharap selamat.”
Ja’far al-Ṣādiq bertanya,
“Kepada siapa engkau berharap selamat?”
Ateis terdiam.
Ja’far al-Ṣādiq berkata,
“Nah, Sang Penciptalah yang sebenarnya engkau harapkan secara tidak sadar saat itu dan dialah yang menyelamatkanmu dari tenggelam.”
Akhirnya si ateis masuk Islam.
***
Jika Anda pernah mendengar ada orang ateis yang berteriak “Ya Tuhan!” saat tahu mesin pesawat meledak dan sudah hampir pasti semua penumpang akan tewas, maka itu kisah yang semakna dengan ini. Yakni fitrah manusia memang mengakui adanya Sang Pencipta disaat-saat sulit atau di saat-saat terakhir.
***
Begitulah.
Fitrah bersih manusia memang tidak bisa mengingkari adanya Sang Pencipta.
Di saat-saat menjelang mati, baru percaya ada kekuatan besar di luar dirinya.
***
Mari kita tanamkan sejak dini kepada anak-anak kita tentang pembuktian adanya Tuhan.
Yang simpel-simpel saja.
Agar kelak saat dewasa, mereka tidak jadi korban penyesatan kaum ateis.
10 Muharram 1445 H/ 28 Juli 2023 pukul 09.33